Sabtu, 08 Oktober 2011

LINGKARAN TIGA HATI


Aku memasangkan jam tangan silver kesayanganku di pergelangan tangan kananku. Jam yang sangat manis. Tidak mewah sih, tapi sangat berkesan. Jam tangan yang diberikan Wildan sebagai hadiah ulang tahunku yang ke-20 bulan lalu. Tentu saja aku sangat menyukainya. Kadang aku sampai senyum-senyum sendiri memandanginya.
Aku melirik jamku itu. Ternyata sudah jam 7. Aku mondar-mandir di sofa ruang tamu menunggu kehadiran Wildan.
“Hahh , ngaret lagi deh. Kemana sih dia. Ga tau apa aku nunggu sampai jamuran kayak gini,” aku menggerutu dalam hati.
            Kulihat ibu dan adikku lagi nonton tivi ikut melirik ke arahku. Adikku yang melihat tingkahku itu pun jadi ikutan kesal . Ku dengar samar-samar adikku mengomel . Entah apa yang diomelkannya . Mana aku peduli.
“Heh, belajar sana. Nonton tivi mulu. Ga naik kelas baru tau rasa ntar,”kataku ketus padanya.
“Apaan sih mbak Gina nih. Mbak aja sana yang belajar. Winda kan masih mau ngobrol ma ibu,”jawab adikku tak kalah ketusnya denganku.
“Tapi kan...”
Tiba-tiba ibuku memotong kata-kataku. “udah-udah, kalian ini udah pada gede masih aja berantem. Kamu juga Gina, kenapa sich dari tadi mondar-mandir gitu? Bikin ibu pusing tau nggak”.
Belum sempat aku menjawab handphoneku berdering merdu. Ternyata sms dari Wildan yang mengabarkan bahwa dia ada urusan penting. Jadi dia tidak bisa pergi denganku. Aku mulai berfikir macam-macam dan rasa kesalkupun semakin menjadi. Aku pun lari menuju kamarku.
***
Paginya di kampus ku cari wildan untuk menanyakan urusan penting yang jadi alasannya dia sampai-sampai membatalkan janjinya denganku. Kulihat Wildan berjalan cepat-cepat ke kelas. Tidak biasanya dia kayak gitu. Ada apa?
Aku memasuki ruang kelas kuliahku. Aku satu fakultas dan satu jurusan dengan Wildan. Dan kebetulan kita sekelas. Aku melirik ke arahnya. Tapi Wildan sama sekali tidak menggubris kedatanganku.
“Apa dia ga liat aku dateng? Keterlaluan!!!”protesku dalam hati. 
Kali ini aku tidak duduk bersebelahan dengannya seperti hari-hari biasa. Aku harap dengan bersikap seperti ini dia bisa tau kalau aku marah dengannya. Tapi ternyata dugaanku salah. Setelah menoleh ke arahkupun tetap tak kulihat wajah cemas di raut wajanya. Bahkan setelah itu dia tidak pernah melihat ke arahku lagi sampai jam kuliah selesai.  Hah dasar Wildan nyebelin!!!
***
Sudah puluhan kali aku melihat layar handphoneku berharap ada telpon atau minimal sms dari wildan. Tapi ternyata nihil. Kemana Wildan? Sudah 2 hari dia tidak menghubungiku. Bahkan di kampuspun begitu. Rasanya seperti tidak saling kenal.
Lama-lama aku merasakan karena dari tadi hanya tiduran di kamarku ini. Aku mengambil album fotoku dan wildan. Rasanya bahagia sakali mengenang kejadian di foto itu. Tapi sekarang semuanya berbeda. Wildan telah berubah.
Tok...tok...tok...
Ku dengar pintu kamarku diketuk. Tak lama kemudian langsung disambung suara winda yang mengatakan kalau wildan menelpon dan ingin berbicara denganku.Wajahku mendadak jadi berseri-seri.
“Tapi kenapa ga telpon di hapeku aja?”tanyaku dalam hati.
Aku pun langsung keluar kamar dan mengambil ganggang telpon yang tergeletak di meja.
“Hallo wildan”.
“Gin, ada yang mau aku bicarain sama kamu,”kata Wildan lesu.
“Apa?”Jawabku agak ketus berharap wildan akan merayuku supaya aku tak lagi marah.
“Kita ketemuan aja di tempat biasa besok jam 4 sore,”suaranya semakin lesu.
“Kamu jemput aku kan?”
“Iya.”
“Oke  deh”.
Klek. Tiiittt...tiiittt...tiiittt. Terdengar di sebrang sana Wildan menutup telponnya. Lagi-lagi sikapnya dingin. Ada apa ini?
***
“kita mau ngapain di sini?”Tanyaku saat wildan menghentikan mobilnya di sebuah rumah sakit.
“Masuk yuk....”Ajak Wildan.
Aku hanya mengangguk dan kamipun memasuku rumah sakit itu. Wildan membawaku ke sebuah ruang perawatan VIP. Ku lihat di sana sedang terbaring seorang gadis yang bisa ku lihat tubuhnya sangat lemah sekali.
“Siapa dia?”Suaraku setengah berbisik pada Wildan.
Tanpa menjawab kemudian Wildan mendudukanku di sebelah gadis itu. Wajahnya pucat sekali.
“Sakit apa dia?”tanyaku sekali lagi.
Ku lihat Wildan hanya menatapku. Aku pun berbalik menatapnya. Sesaat kami saling memandang. Sungguh aku sama sekali tidak mengerti apa yang dipikirkannya. Dalam hatiku terus bertanya ada apa ini? Apa maksud semua ini? Siapa gadis itu? Tapi hanya kediaman Wildanlah jawabanya.
Ku lihat gadis itu membuka matanya. Saat itu juga Wildan langsung menghampirinya.
“Mia, kamu udah bangun?”
Gadis yang dipanggil mia itu hanya tersenyum kemudian dia melihat ke arahku.
“Siapa dia Dan?”tanya Mia saat melihatku.
“Dia...emm, dia itu temen kampusku mi,”jawab Wildan.
Seketika aku memalingkan pandanganku ke Wildan. Aku melotot. Aku menatapnya tajam tapi Wildan tidak berani membalas tatapanku.
“Gin, kenalin ini Mia tunangan aku”.
Aku melihat Mia tersenyum kepadaku sambil mengulurkan tangannya ke arahku. Dengan sisa tenaga yang ada aku menjabat tangannya. Ya tuhan, saat ini rasanya duniaku runtuh. Wildan, teganya dia melukaiku. Tidak tahukah dia apa yang sedang aku rasakan saat ini.
“A...aku permisi dulu. Ada urusan.”
Segera aku berlari meninggalkan Wildan dan Mia. Tak kuasa air mataku ini terus mengalir. Hatiku tersa sangat sakit. Ternyata Wildan mengejarku.
“Gina tunggu,”kata Wildan sambil menarik lenganku.
“Udahlah. Kalo kamu emang udah ga sayang sama aku harusnya ngomong dari kemarin. Jangan kayak gini. Kamu ga tau gimana sakitnya aku. Kamu jahat dan, kamu jahat. Aku benci.”
Aku pun meronta melepaskan lenganku dari genggaman wildan. Tapi tidak bisa. Aku sudah tidak mempunyai tenaga lagi. Wildan memelukku. Aku menagis di pelukannya.
“Akan aku jelasin semuanya.”
“Ga perlu!”jawabku lugas.
“Enggak, kamu harus tau. Aku ga pengen kamu benci sama aku. Aku sayang banget sama kamu Gin.”
Ah, kata sayang. Apa masih berarti untuk saat ini. Setelah yang Wildan lakukan padaku malam ini. Apa benar masih ada sayang?
***
Kembali Wildan mengajakku bertemu Mia di rumah sakit. Tapi kali ini aku dan wildan hanya menunggu di luar. Kami tidak masuk ke ruang perawatan mia.
Wildan mulai menjelaskan siapa Mia. Ternyata Mia adalah tunangan Wildan. Mereka bertunangan saat kelas 2 sma. Suatu hari tanpa ada kabar Mia memutuskan pindah ke amerika tanpa memberitahu pada Wildan. Setelah itu mia menghilang tak ada kabar. Wildan berusaha menghubungi Mia tapi sepertinya Mia yang sengaja menghindar. Dan sekarang Mia pulang ke jogja. Ternyata mia menghilang karena melakukan pengobatan atas penyakit yang dideritanya. Mia sakit kanker otak dan menurut perhitungan medis umurnya tidak lama karena pengobatan di amerika tetap sia-sia. Bahkan Wildan baru tahu tentang penyakit Mia karena memang Mia merahasiakannya dari Wildan.
Aku menitikkan air mataku mengetahui keadaan Mia yang gawat. Perlahan-lahan rasa marahku reda berganti rasa kasihan yang sangat dalam. Sungguh aku tidak pernah menyangka bahwa Mia separah itu.
“Makanya aku ga tega nambahin beban pikiran Mia. Aku ga mau mia tambah sakit kalo tau tentang hubungan kita,”kata Wildan memecah keheningan.
“Iya, aku ngerti dan,”jawabku sambil menggenggam tangan Wildan.
“Maafin aku Gin, aku sayang banget sama kamu. Aku ga mau nyakitin kamu tapi aku juga ga mau bikin Mia tambah sakit. Aku pengen di sisa umurnya Mia bisa bahagia”.
“Insya Allah aku ikhlas dan,”jawabku dengan senyum masih menggenggam tangan Wildan.
Wildan hanya menatapku. Tapi aku tak sanggup membalas tatapannya. Kini aku dan Wildan kembali diam. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku percaya kalau Wildan adalah jodohku, kelak pasti akan kembali kepadaku. Skarang yang harus aku lakukan adalah belajar ikhlas menerima semua kejadian ini. Jau di dalam lubuk hatiku aku masih sangat mencintai wildan. Tapi aku juga tidak inin menyakiti Mia.
“Aku pulang dulu Dan”.
“Aku anterin”.
“Ga usah, bisa kog,”jawabku sambil berdiri.
“Gin, makasih ya,”kata Wildan sambil berdiri dan kemudian menjabat tanganku.
Rasanya aneh Wildan menjabat tanganku seperti ini. Sungguh aku ingin segera menghilang dari hadapannya. Aku tidak sanggup lama-lama melihatnya. Itu hanya akan membuatku tambah sakit. Ya, aku sakit. Sangat sakit.
Aku mengayunkan kakiku meninggalkan Wildan yang masih berdiri si depan ruang perawatan mia. Aku tak ingin menoleh. Aku harus tetap melangkah. Aku harus ikhlas. Mia lebih membutuhkan Wildan. Semua pasti ada hikmahnya. Aku berusaha menguatkan hatiku. Biarlah kisahku dan Wildan menjadi kenangan. Kini aku akan memulai hari-hariku lagi. Membuka lembaran baru yang lebih baik dan tetap masih mencintainya, Wildan.
--end--

0 komentar:

Posting Komentar