Aku
memasangkan jam tangan silver kesayanganku di pergelangan tangan kananku. Jam yang
sangat manis. Tidak mewah sih, tapi sangat berkesan. Jam tangan yang diberikan
Wildan sebagai hadiah ulang tahunku yang ke-20 bulan lalu. Tentu saja aku
sangat menyukainya. Kadang aku sampai senyum-senyum sendiri memandanginya.
Aku melirik jamku itu. Ternyata sudah jam 7. Aku mondar-mandir
di sofa ruang tamu menunggu kehadiran Wildan.
“Hahh
, ngaret lagi deh. Kemana sih dia. Ga tau apa aku nunggu sampai jamuran kayak
gini,” aku menggerutu dalam hati.
Kulihat ibu dan adikku lagi nonton
tivi ikut melirik ke arahku. Adikku yang melihat tingkahku itu pun jadi ikutan
kesal . Ku dengar samar-samar adikku mengomel . Entah apa yang diomelkannya .
Mana aku peduli.
“Heh,
belajar sana. Nonton tivi mulu. Ga naik kelas baru tau rasa ntar,”kataku ketus
padanya.
“Apaan
sih mbak Gina nih. Mbak aja sana yang belajar. Winda kan masih mau ngobrol ma
ibu,”jawab adikku tak kalah ketusnya denganku.
“Tapi
kan...”
Tiba-tiba ibuku memotong kata-kataku. “udah-udah,
kalian ini udah pada gede masih aja berantem. Kamu juga Gina, kenapa sich dari tadi
mondar-mandir gitu? Bikin ibu pusing tau nggak”.
Belum sempat aku menjawab handphoneku berdering
merdu. Ternyata sms dari Wildan yang mengabarkan bahwa dia ada urusan penting. Jadi
dia tidak bisa pergi denganku. Aku mulai berfikir macam-macam dan rasa
kesalkupun semakin menjadi. Aku pun lari menuju kamarku.
***
Paginya
di kampus ku cari wildan untuk menanyakan urusan penting yang jadi alasannya
dia sampai-sampai membatalkan janjinya denganku. Kulihat Wildan berjalan
cepat-cepat ke kelas. Tidak biasanya dia kayak gitu. Ada apa?
Aku memasuki ruang kelas kuliahku. Aku satu fakultas
dan satu jurusan dengan Wildan. Dan kebetulan kita sekelas. Aku melirik ke
arahnya. Tapi Wildan sama sekali tidak menggubris kedatanganku.
“Apa
dia ga liat aku dateng? Keterlaluan!!!”protesku dalam hati.
Kali ini aku tidak duduk bersebelahan dengannya
seperti hari-hari biasa. Aku harap dengan bersikap seperti ini dia bisa tau
kalau aku marah dengannya. Tapi ternyata dugaanku salah. Setelah menoleh ke
arahkupun tetap tak kulihat wajah cemas di raut wajanya. Bahkan setelah itu dia
tidak pernah melihat ke arahku lagi sampai jam kuliah selesai. Hah dasar Wildan nyebelin!!!
***
Sudah
puluhan kali aku melihat layar handphoneku berharap ada telpon atau minimal sms
dari wildan. Tapi ternyata nihil. Kemana Wildan? Sudah 2 hari dia tidak
menghubungiku. Bahkan di kampuspun begitu. Rasanya seperti tidak saling kenal.
Lama-lama aku merasakan karena dari tadi hanya
tiduran di kamarku ini. Aku mengambil album fotoku dan wildan. Rasanya bahagia
sakali mengenang kejadian di foto itu. Tapi sekarang semuanya berbeda. Wildan
telah berubah.
Tok...tok...tok...
Ku dengar pintu kamarku diketuk. Tak lama kemudian
langsung disambung suara winda yang mengatakan kalau wildan menelpon dan ingin
berbicara denganku.Wajahku mendadak jadi berseri-seri.
“Tapi
kenapa ga telpon di hapeku aja?”tanyaku dalam hati.
Aku pun langsung keluar kamar dan mengambil ganggang
telpon yang tergeletak di meja.
“Hallo
wildan”.
“Gin,
ada yang mau aku bicarain sama kamu,”kata Wildan lesu.
“Apa?”Jawabku
agak ketus berharap wildan akan merayuku supaya aku tak lagi marah.
“Kita
ketemuan aja di tempat biasa besok jam 4 sore,”suaranya semakin lesu.
“Kamu
jemput aku kan?”
“Iya.”
“Oke deh”.
Klek.
Tiiittt...tiiittt...tiiittt. Terdengar di sebrang sana Wildan menutup
telponnya. Lagi-lagi sikapnya dingin. Ada apa ini?
***
“kita
mau ngapain di sini?”Tanyaku saat wildan menghentikan mobilnya di sebuah rumah
sakit.
“Masuk
yuk....”Ajak Wildan.
Aku hanya mengangguk dan kamipun memasuku rumah
sakit itu. Wildan membawaku ke sebuah ruang perawatan VIP. Ku lihat di sana
sedang terbaring seorang gadis yang bisa ku lihat tubuhnya sangat lemah sekali.
“Siapa
dia?”Suaraku setengah berbisik pada Wildan.
Tanpa menjawab kemudian Wildan mendudukanku di
sebelah gadis itu. Wajahnya pucat sekali.
“Sakit
apa dia?”tanyaku sekali lagi.
Ku lihat Wildan hanya menatapku. Aku pun berbalik
menatapnya. Sesaat kami saling memandang. Sungguh aku sama sekali tidak
mengerti apa yang dipikirkannya. Dalam hatiku terus bertanya ada apa ini? Apa
maksud semua ini? Siapa gadis itu? Tapi hanya kediaman Wildanlah jawabanya.
Ku lihat gadis itu membuka matanya. Saat itu juga Wildan
langsung menghampirinya.
“Mia,
kamu udah bangun?”
Gadis yang dipanggil mia itu hanya tersenyum
kemudian dia melihat ke arahku.
“Siapa
dia Dan?”tanya Mia saat melihatku.
“Dia...emm,
dia itu temen kampusku mi,”jawab Wildan.
Seketika aku memalingkan pandanganku ke Wildan. Aku
melotot. Aku menatapnya tajam tapi Wildan tidak berani membalas tatapanku.
“Gin,
kenalin ini Mia tunangan aku”.
Aku melihat Mia tersenyum kepadaku sambil
mengulurkan tangannya ke arahku. Dengan sisa tenaga yang ada aku menjabat
tangannya. Ya tuhan, saat ini rasanya duniaku runtuh. Wildan, teganya dia
melukaiku. Tidak tahukah dia apa yang sedang aku rasakan saat ini.
“A...aku
permisi dulu. Ada urusan.”
Segera aku berlari meninggalkan Wildan dan Mia. Tak
kuasa air mataku ini terus mengalir. Hatiku tersa sangat sakit. Ternyata Wildan
mengejarku.
“Gina
tunggu,”kata Wildan sambil menarik lenganku.
“Udahlah.
Kalo kamu emang udah ga sayang sama aku harusnya ngomong dari kemarin. Jangan
kayak gini. Kamu ga tau gimana sakitnya aku. Kamu jahat dan, kamu jahat. Aku
benci.”
Aku pun meronta melepaskan lenganku dari genggaman
wildan. Tapi tidak bisa. Aku sudah tidak mempunyai tenaga lagi. Wildan
memelukku. Aku menagis di pelukannya.
“Akan
aku jelasin semuanya.”
“Ga
perlu!”jawabku lugas.
“Enggak,
kamu harus tau. Aku ga pengen kamu benci sama aku. Aku sayang banget sama kamu Gin.”
Ah, kata sayang. Apa masih berarti untuk saat ini.
Setelah yang Wildan lakukan padaku malam ini. Apa benar masih ada sayang?
***
Kembali
Wildan mengajakku bertemu Mia di rumah sakit. Tapi kali ini aku dan wildan
hanya menunggu di luar. Kami tidak masuk ke ruang perawatan mia.
Wildan mulai menjelaskan siapa Mia. Ternyata Mia
adalah tunangan Wildan. Mereka bertunangan saat kelas 2 sma. Suatu hari tanpa
ada kabar Mia memutuskan pindah ke amerika tanpa memberitahu pada Wildan. Setelah
itu mia menghilang tak ada kabar. Wildan berusaha menghubungi Mia tapi
sepertinya Mia yang sengaja menghindar. Dan sekarang Mia pulang ke jogja. Ternyata
mia menghilang karena melakukan pengobatan atas penyakit yang dideritanya. Mia
sakit kanker otak dan menurut perhitungan medis umurnya tidak lama karena
pengobatan di amerika tetap sia-sia. Bahkan Wildan baru tahu tentang penyakit Mia
karena memang Mia merahasiakannya dari Wildan.
Aku menitikkan air mataku mengetahui keadaan Mia
yang gawat. Perlahan-lahan rasa marahku reda berganti rasa kasihan yang sangat
dalam. Sungguh aku tidak pernah menyangka bahwa Mia separah itu.
“Makanya
aku ga tega nambahin beban pikiran Mia. Aku ga mau mia tambah sakit kalo tau
tentang hubungan kita,”kata Wildan memecah keheningan.
“Iya,
aku ngerti dan,”jawabku sambil menggenggam tangan Wildan.
“Maafin
aku Gin, aku sayang banget sama kamu. Aku ga mau nyakitin kamu tapi aku juga ga
mau bikin Mia tambah sakit. Aku pengen di sisa umurnya Mia bisa bahagia”.
“Insya
Allah aku ikhlas dan,”jawabku dengan senyum masih menggenggam tangan Wildan.
Wildan hanya menatapku. Tapi aku tak sanggup
membalas tatapannya. Kini aku dan Wildan kembali diam. Kami sibuk dengan
pikiran masing-masing. Aku percaya kalau Wildan adalah jodohku, kelak pasti
akan kembali kepadaku. Skarang yang harus aku lakukan adalah belajar ikhlas
menerima semua kejadian ini. Jau di dalam lubuk hatiku aku masih sangat
mencintai wildan. Tapi aku juga tidak inin menyakiti Mia.
“Aku
pulang dulu Dan”.
“Aku
anterin”.
“Ga
usah, bisa kog,”jawabku sambil berdiri.
“Gin,
makasih ya,”kata Wildan sambil berdiri dan kemudian menjabat tanganku.
Rasanya aneh Wildan menjabat tanganku seperti ini. Sungguh
aku ingin segera menghilang dari hadapannya. Aku tidak sanggup lama-lama
melihatnya. Itu hanya akan membuatku tambah sakit. Ya, aku sakit. Sangat sakit.
Aku mengayunkan kakiku meninggalkan Wildan yang masih
berdiri si depan ruang perawatan mia. Aku tak ingin menoleh. Aku harus tetap
melangkah. Aku harus ikhlas. Mia lebih membutuhkan Wildan. Semua pasti ada
hikmahnya. Aku berusaha menguatkan hatiku. Biarlah kisahku dan Wildan menjadi
kenangan. Kini aku akan memulai hari-hariku lagi. Membuka lembaran baru yang
lebih baik dan tetap masih mencintainya, Wildan.
--end--