Aku
melayangkan pandanganku menatap hamparan air yang berada di depanku.
Pemandangan laut senja memang sangatlah indah. sisa sinar sang surya yang
menimpa laut, membuat keindahan yang sedang ku nikmati ini menjadi berkilauan. Sungguh
indah karya Tuhan.
“Laut memang bisa menenangkan
pikiran yang sedang kacau,” kata seorang perempuan tiba-tiba yang kemudian
langsung duduk di sampingku.
Aku menatap perempuan itu. Aku mencoba
mengamati penampilannya. Cara berpakaiannya juga sangat sederhana. Ia hanya
memakai sebuah kaos putih dan celana jins hitam. Di punggungnya melekat sebuah
tas ransel yang berwarna hitam. Ktika aku mengamati wajahnya, aku bisa
menyimpulkan bahwa ia termasuk kategori cantik meskipun dengan berpakaian
sesederhana itu.
“Kenapa bengong?” tanyanya ketika
melihat aku hanya diam sambil memandangnya.
“Oh, eh, iya. Kenapa?” tanyaku
gelagapan.
Perempuan tadi lantas tertawa. Entah
apa yang ditertawakannya. Ada rasa tidak enak menyelinap di hatiku. Mungkin
perempuan tadi tahu kalau aku sedang mengamati dan menilainya. Mungkin juga ia
menganggap yang aku lakukan terhadapnya itu adalah perbuatan konyol.
“Riska,” kata perempuan tadi
memperkenalkan diri sambil menjulurkan tengannya mengajak bersalaman.
“Mitha,” kataku sambil menjabat
tangan perempuan yang bernama Riska itu.
“Sendiri?” tanya Riska sambil
melayangkan matanya ke arahku.
Aku hanya menganggukan kepalaku
sebagai jawaban. Kemudian suasana kembali hening seperti ketika aku sendirian
tadi. Mataku serasa masih belum puas menikmati keindahan laut yang sedari tadi
ku pandangi.
“Apa tidak takut sendirian di
pantai? Apalagi sekarang sudah sangat sore,” kata Riska memecah keheningan
kami.
Kini aku menggelengkan kepalaku. “
Pantai adalah rumahku. Tidak ada yang perlu ditakuti!” kataku tegas.
Riska kembali tertawa. Entah kenapa
tawanya begitu hangat merasuki telingaku. Kini sepertinya aku mulai terbiaa
dengan tawa dari Riska itu. Bahkan mungkin telingaku sangat menyukai tawanya
itu.
Riska membuka tasnya kemudian
mengambil sebuah pena. Tiba-tiba ia meraih tanganku kemudian menuliskan sesuatu
di telapak tanganku dengan pena yang diambilnya tadi.
“Nomor telfonku. Kalau ada masalah
kamu bisa panggil aku,” katanya kemudian berdiri. “Aku pulang dulu. Senang
bertemu denganmu, Mitha,” lanjutnya seraya melangkah semakin menjauhiku.
Setelah Riska menghilang, tiba-tiba perasaan sepi itu menghampiriku lagi. Kini
aku benar-benar kesepian di sini. Meskipun sebenarnya aku tidak sendirian di
pantai ini tetapi hatiku merasa sepi sendiri. Aku merasa hanya seorang diri.
***
Lagi-lagi
aku harus melihat dan mendengar pertengkaran mereka. Ibu dan ayah tiriku memang
selalu saja bertengkar. Pasti ayah tiriku itu dipecat lagi dari tempatnya
bekerja. Atau mungkin ia mabuk-mabukan lagi. Arghhh... kepalaku serasa mau pecah.
Kembali aku harus melihat
pemandangan itu. laki-laki itu memukuli ibuku lagi. Ingin rasanya aku menolong
ibuku kemudian berbalik menghajar laki-laki itu, tetapi aku tidak bisa. Ibuku
melarangku melakukannya. Ibuku hanya takut kalau laki-laki itu juga akan
menyakitiku.
Aku mendudukkan tubuhku di pinggir
tempat tidurku. Aku benar-benar sepi. Hidupku juga semakin tidak terarah.
Seminggu yang lalu aku dipecat dari pekerjaanku sebagai pelayan restoran.
Sampai sekarang aku tidak punya pekerjaan apa-apa. tidak ada yang mau
menerimaku bekerja di tempatnya. Dunia
ini memang tidak pernah adil bagiku.
Tiba-tiba aku ingat kepada Riska.
Aku mengambil ponselku yang dari tadi tergeletak di atas meja riasku. Aku mulai
mencari nama Riska dalam kontak telfonku. Untung kemaren aku menyiman nomornya.
Setelah ketemu aku langsung menelfonnnya.
“Halo Riska... ini Mitha. Bisa kita
ketemu?”
***
Aku
kembali memandangi hamparan air di depanku. Airnya masih tetap berkilau meski
sang surya masih menjalankan tugasnya menyinari jagat raya ini. Kesendiriaan
semakin menggerogoti jiwaku. Aku merasakan kehadiran seseorang di belakangku.
“Maaf mengganggumu, Ris...,” kataku
tanpa menoleh.
Riska langsung duduk di sampingku. Aku
menoleh ke arahnya. Aku melihat matanya jauh menerawang ke lautan lepas yang
terhampar di hadapan kami.
“Tidak masalah. Ayo cerita! Aku siap
mendengarkan,” katanya sembari tersenyum.
Aku mulai menceritakan
masalah-masalahku pada Riska. Tentang ibuku, ayah tiriku, tentang Danu yang ku
cintai namun telah mengkhianatiku, dan
diriku yang terlahir tidak mempunyai ayah sampai umur lima tahun yang akhirnya
ibuku menikah dengan ayah tiriku itu. Entah kenapa aku merasa sangat nyaman
bersamanya padahal sebelumnya aku tidak pernah merasa nyaman dengan siapapun.
Riska memang berbeda dari yang lainnya.
Aku kaget ketika Riska malah tertawa
mendengar ceritaku. Aku pikir ia akan memberika solusi masalahku. Ternyata ia
hanya menertawakanku. Ah!
“Maaf, aku tidak bermaksud
menertawakanmu. Sungguh,” katanya berusaha meyakinkanku. “Jangan percaya dengan
laki-laki. Mereka itu makhluk bermuka dua,” lanjutnya.
“Kenapa kamu bicara seperti itu?”
tanyaku keheranan.
“Karena laki-laki itu memang tidak
pantas dipercaya, apalagi dicintai!” katanya tegas dan mantap.
“Apa kamu pernah dikhianati?”
selidikku.
Riska menggeleng. “Aku tidak akan
pernah menggantungkan hidupku pada laki-laki!” tegasnya kemudian.
“Kenapa?” tanyaku semakin penasaran.
Riska kemudian menceritakan tentang
hidupnya. Ibunya ditinggal begitu saja oleh ayahnya ketika ia berusia 12 tahun.
Ibunya mengalami depresi dan kemudian meninggal dunia. Beruntung karena
kemudian ada seorang janda yang tidak mempunyai anak telah mengangkatnya
sebagai anak. Dari sirulah Riska kemudian berjanji tidak mau berurusan lebih
jauh dengan makhluk yang namanya laki-laki.
“Apa kamu tidak pernah jatuh cinta?”
tanyaku kemudian.
“Pernah,” jawabnya singkat.
“Oiya? Lalu kenapa tidak mau
berurusan dengan laki-laki?” tanyaku semakin tidak mengerti.
“Karena aku jatuh cinta denganmu,”
jawabnya pelan.
Aku bagai di sambar petir mendengar
kata-kata Riska. Aku tidak pernah menyangka akan dicintai seperti ini oleh
seorang perempuan.
“Maksud kamu apa? Kita baru saja
bertemu dan mana mungkin aku....” Tiba-tiba Riska memelukku, membuatku tidak
bisa melanjutkan kata-kataku.
Entah kenapa aku tidak mencoba
melepaskan diri dari pelukan Riska. Aku juga marasa nyaman akan pelukan itu. Sudah
gilakah aku karena mungkin aku juga mempunyai rasa yang sama seperti Riska?
“Aku sering mengamatimu di sini.
Saat kamu sedang kesepian di sini. Dan kemarin aku memutuskan untuk lebih
mengenalmu agar aku bisa menjagamu dan mengisi kekosonganmu,” bisiknya lembut.
Riska semakin erat memelukku dan
entah kenapa tanganku balas memeluknya. Tiba-tiba saja ada perasaan lain
menyelinap di hatiku. Mungkinkah benar Riska adalah orang yang akan mengisi
kosongnya hatiku? Mungkinkah itu?
***
Sejak
kejadian di pantai itu, aku dan Riska semakin dekat. Riska adalah orang yang
telah mengisi hatiku. Ia juga tidak pernah menyakitiku. Selama bersamanya aku
merasa sangat aman.
“Sampai ketemu besok ya,” katanya
ketika ia telah mengantarkanku pulang ke rumah.
Aku mengangguk sambil tersenyum.
Tanpa ku duga Riska tiba-tiba saja mencium keningku. Dan anehnya hatiku
bergetar juga karena ciumannya itu.
“Aku cinta kamu, Mitha,” teriaknya
seraya menjalankan motornya.
“Aku juga,” jawabku juga sambil
berteriak.
Aku melihat sepeda motor Riska
semakin jauh meninggalkan rumahku. Setelah sepeda motor itu benar-benar hilang,
aku segera masuk ke rumah. Aku tidak menyangka bahwa ibuku sudh menungguku di
balik pintu rumahku.
“Siapa perempuan itu, Tha?” tanya
ibuku.
“Teman,” jawabku sambil berlalu.
Tidak puas dengan jawabanku, ibuku
mengejarku sampai ke kamar.
“Mana ada teman yang mencium kening
temannya sendiri kemudian mengatakan cinta seperti itu?”
“Kenapa tidak? Dia kan temanku.
Lagipula banyak perempuan yang saling cuium pipi,” kilahku.
“Tidak mungkin!” bentak ibuku, “lalu
apa ini?” kata ibuku sambil menunjukkan buku harianku.
“Dia memang kekasihku,” kataku
akhirnya mengakui.
Ibuku sangat terpukul mendengar
pengakuanku itu. ia merobek fotoku bersama Riska yang terselip di dalam buku
harianku. Kemudian ia juga menginjak-injak buku harianku itu. dan aku hanya
bisa menangis melihat itu semua.
“Maaf, bu,” ratapku sambil mencoba
memeluk ibuku tetapi ibuku mengelak.
“Ibu sudah mencarikan calon suami
untukmu!” tegas ibuku.
“Tidak,bu! Salahkah aku mencintai
Riska? Dialah pelangi dalam hidupku yang gelap. Dia yang mampu membuat aku
bahagia. Aku tidak mau menikah dengan lak-laki. Laki-laki itu hanya akan
menyakiti. Percayalah, bu!” kataku memelas.
“Tidak!” kata ibuku sambil keluar kamarku.
***
Aku
kembali menatap lautan luas di hadapanku. Kini bukan seorang diri lagi. Kini
aku bersama dengan seorang malaikat kecil dan malaikat penjagaku. Sudah lima
tahun sejak pindah ke Surabaya aku tidak ke sini. Semuanya masih sama, yang
berbeda hanyalah dengan siapa aku ke sini.
Sejak peristiwa itu aku harus ikut
ibuku pindah ke Surabaya dan melupakan semua kehidupanku di Jakarta. Aku sangat
merindukan Jakarta, terlebih Riska. Lima tahun aku tidak bertemu dengannya dan
aku meninggalkannya tanpa kata-kata.
Dari kejauhan aku melihat suami dan
putriku sedang bermain air. Ternyata tidak semua laki-laki itu sama buruknya.
Suamiku adalah laki-laki terbaik dalam hidupku. Apalagi sekarang ada Miska,
putriku.
“Apa kabar?” sapa seorang perempuan
di belakangku.
Suara itu, aku sangat mengenalinya.
Suara yang sudah aku rindukan selama lima tahun. Sekarang aku kembali mendengar
suara itu.
“Riska,” kataku seraya membalikkan
tubuhku.
Riska hanya tersenyum. Ia masih
seperti dulu. Tidak ada yang berubah. Tetap cantik dan berpenampilan seperti
lima tahun lalu.
“Itu keluargamu?” tanyanya sambil
menunjuk ke arah suami dan anakku.
“Iya,” jawabku.
Tiba-tiba Riska memelukku. Aku
sangat merindukkan pelukan ini. aku merasa damai berada dalam dekapan Riska.
Ternyata rasaku untuk Riska masih sama besar seperti lima tahun lalu.
“Apa kamu masih mencintaiku, Tha?”
tanya Riska masih sambil memelukku.
“Sangat,” jawabku.
Riska melepaskan pelukkannya karena
suami dan anak-anakku datang. Aku memperkenalkan Riska pada mereka sebagai
sahabatku.
“Miska, Mitha dan Riska bukan?”
tanyanya ketika aku menyebutkan nama putriku. Aku mengangguk.
Kini aku telah menemukan kembali
pelangiku yang hilang. Meski tak akan termiliki namun pelangi itu akan ada
menemani daam hidupku. Pelangiku akan menemaniku berdampingan dengan bulan dan
bintangku. Selamanya.
0 komentar:
Posting Komentar