Senin, 26 Desember 2011

Salahkah Cinta?


Aku melayangkan pandanganku menatap hamparan air yang berada di depanku. Pemandangan laut senja memang sangatlah indah. sisa sinar sang surya yang menimpa laut, membuat keindahan yang sedang ku nikmati ini menjadi berkilauan. Sungguh indah karya Tuhan.
            “Laut memang bisa menenangkan pikiran yang sedang kacau,” kata seorang perempuan tiba-tiba yang kemudian langsung duduk di sampingku.
            Aku menatap perempuan itu. Aku mencoba mengamati penampilannya. Cara berpakaiannya juga sangat sederhana. Ia hanya memakai sebuah kaos putih dan celana jins hitam. Di punggungnya melekat sebuah tas ransel yang berwarna hitam. Ktika aku mengamati wajahnya, aku bisa menyimpulkan bahwa ia termasuk kategori cantik meskipun dengan berpakaian sesederhana itu.
            “Kenapa bengong?” tanyanya ketika melihat aku hanya diam sambil memandangnya.
            “Oh, eh, iya. Kenapa?” tanyaku gelagapan.
            Perempuan tadi lantas tertawa. Entah apa yang ditertawakannya. Ada rasa tidak enak menyelinap di hatiku. Mungkin perempuan tadi tahu kalau aku sedang mengamati dan menilainya. Mungkin juga ia menganggap yang aku lakukan terhadapnya itu adalah perbuatan konyol.
            “Riska,” kata perempuan tadi memperkenalkan diri sambil menjulurkan tengannya mengajak bersalaman.
            “Mitha,” kataku sambil menjabat tangan perempuan yang bernama Riska itu.
            “Sendiri?” tanya Riska sambil melayangkan matanya ke arahku.
            Aku hanya menganggukan kepalaku sebagai jawaban. Kemudian suasana kembali hening seperti ketika aku sendirian tadi. Mataku serasa masih belum puas menikmati keindahan laut yang sedari tadi ku pandangi.
            “Apa tidak takut sendirian di pantai? Apalagi sekarang sudah sangat sore,” kata Riska memecah keheningan kami.
            Kini aku menggelengkan kepalaku. “ Pantai adalah rumahku. Tidak ada yang perlu ditakuti!” kataku tegas.
            Riska kembali tertawa. Entah kenapa tawanya begitu hangat merasuki telingaku. Kini sepertinya aku mulai terbiaa dengan tawa dari Riska itu. Bahkan mungkin telingaku sangat menyukai tawanya itu.
            Riska membuka tasnya kemudian mengambil sebuah pena. Tiba-tiba ia meraih tanganku kemudian menuliskan sesuatu di telapak tanganku dengan pena yang diambilnya tadi.
            “Nomor telfonku. Kalau ada masalah kamu bisa panggil aku,” katanya kemudian berdiri. “Aku pulang dulu. Senang bertemu denganmu, Mitha,” lanjutnya seraya melangkah semakin menjauhiku. Setelah Riska menghilang, tiba-tiba perasaan sepi itu menghampiriku lagi. Kini aku benar-benar kesepian di sini. Meskipun sebenarnya aku tidak sendirian di pantai ini tetapi hatiku merasa sepi sendiri. Aku merasa hanya seorang diri.
***
Lagi-lagi aku harus melihat dan mendengar pertengkaran mereka. Ibu dan ayah tiriku memang selalu saja bertengkar. Pasti ayah tiriku itu dipecat lagi dari tempatnya bekerja. Atau mungkin ia mabuk-mabukan lagi. Arghhh... kepalaku serasa mau pecah.
            Kembali aku harus melihat pemandangan itu. laki-laki itu memukuli ibuku lagi. Ingin rasanya aku menolong ibuku kemudian berbalik menghajar laki-laki itu, tetapi aku tidak bisa. Ibuku melarangku melakukannya. Ibuku hanya takut kalau laki-laki itu juga akan menyakitiku.
            Aku mendudukkan tubuhku di pinggir tempat tidurku. Aku benar-benar sepi. Hidupku juga semakin tidak terarah. Seminggu yang lalu aku dipecat dari pekerjaanku sebagai pelayan restoran. Sampai sekarang aku tidak punya pekerjaan apa-apa. tidak ada yang mau menerimaku bekerja di tempatnya. Dunia  ini memang tidak pernah adil bagiku.
            Tiba-tiba aku ingat kepada Riska. Aku mengambil ponselku yang dari tadi tergeletak di atas meja riasku. Aku mulai mencari nama Riska dalam kontak telfonku. Untung kemaren aku menyiman nomornya. Setelah ketemu aku langsung menelfonnnya.
            “Halo Riska... ini Mitha. Bisa kita ketemu?”
***
Aku kembali memandangi hamparan air di depanku. Airnya masih tetap berkilau meski sang surya masih menjalankan tugasnya menyinari jagat raya ini. Kesendiriaan semakin menggerogoti jiwaku. Aku merasakan kehadiran seseorang di belakangku.
            “Maaf mengganggumu, Ris...,” kataku tanpa menoleh.
            Riska langsung duduk di sampingku. Aku menoleh ke arahnya. Aku melihat matanya jauh menerawang ke lautan lepas yang terhampar di hadapan kami.
            “Tidak masalah. Ayo cerita! Aku siap mendengarkan,” katanya sembari tersenyum.
            Aku mulai menceritakan masalah-masalahku pada Riska. Tentang ibuku, ayah tiriku, tentang Danu yang ku cintai namun telah  mengkhianatiku, dan diriku yang terlahir tidak mempunyai ayah sampai umur lima tahun yang akhirnya ibuku menikah dengan ayah tiriku itu. Entah kenapa aku merasa sangat nyaman bersamanya padahal sebelumnya aku tidak pernah merasa nyaman dengan siapapun. Riska memang berbeda dari yang lainnya.
            Aku kaget ketika Riska malah tertawa mendengar ceritaku. Aku pikir ia akan memberika solusi masalahku. Ternyata ia hanya menertawakanku. Ah!
            “Maaf, aku tidak bermaksud menertawakanmu. Sungguh,” katanya berusaha meyakinkanku. “Jangan percaya dengan laki-laki. Mereka itu makhluk bermuka dua,” lanjutnya.
            “Kenapa kamu bicara seperti itu?” tanyaku keheranan.
            “Karena laki-laki itu memang tidak pantas dipercaya, apalagi dicintai!” katanya tegas dan mantap.
            “Apa kamu pernah dikhianati?” selidikku.
            Riska menggeleng. “Aku tidak akan pernah menggantungkan hidupku pada laki-laki!” tegasnya kemudian.
            “Kenapa?” tanyaku semakin penasaran.
            Riska kemudian menceritakan tentang hidupnya. Ibunya ditinggal begitu saja oleh ayahnya ketika ia berusia 12 tahun. Ibunya mengalami depresi dan kemudian meninggal dunia. Beruntung karena kemudian ada seorang janda yang tidak mempunyai anak telah mengangkatnya sebagai anak. Dari sirulah Riska kemudian berjanji tidak mau berurusan lebih jauh dengan makhluk yang namanya laki-laki.
            “Apa kamu tidak pernah jatuh cinta?” tanyaku kemudian.
            “Pernah,” jawabnya singkat.
            “Oiya? Lalu kenapa tidak mau berurusan dengan laki-laki?” tanyaku semakin tidak mengerti.
            “Karena aku jatuh cinta denganmu,” jawabnya pelan.
            Aku bagai di sambar petir mendengar kata-kata Riska. Aku tidak pernah menyangka akan dicintai seperti ini oleh seorang perempuan.
            “Maksud kamu apa? Kita baru saja bertemu dan mana mungkin aku....” Tiba-tiba Riska memelukku, membuatku tidak bisa melanjutkan kata-kataku.
            Entah kenapa aku tidak mencoba melepaskan diri dari pelukan Riska. Aku juga marasa nyaman akan pelukan itu. Sudah gilakah aku karena mungkin aku juga mempunyai rasa yang sama seperti Riska?
            “Aku sering mengamatimu di sini. Saat kamu sedang kesepian di sini. Dan kemarin aku memutuskan untuk lebih mengenalmu agar aku bisa menjagamu dan mengisi kekosonganmu,” bisiknya lembut.
            Riska semakin erat memelukku dan entah kenapa tanganku balas memeluknya. Tiba-tiba saja ada perasaan lain menyelinap di hatiku. Mungkinkah benar Riska adalah orang yang akan mengisi kosongnya hatiku? Mungkinkah itu?
***
Sejak kejadian di pantai itu, aku dan Riska semakin dekat. Riska adalah orang yang telah mengisi hatiku. Ia juga tidak pernah menyakitiku. Selama bersamanya aku merasa sangat aman.
            “Sampai ketemu besok ya,” katanya ketika ia telah mengantarkanku pulang ke rumah.
            Aku mengangguk sambil tersenyum. Tanpa ku duga Riska tiba-tiba saja mencium keningku. Dan anehnya hatiku bergetar juga karena ciumannya itu.
            “Aku cinta kamu, Mitha,” teriaknya seraya menjalankan motornya.
            “Aku juga,” jawabku juga sambil berteriak.
            Aku melihat sepeda motor Riska semakin jauh meninggalkan rumahku. Setelah sepeda motor itu benar-benar hilang, aku segera masuk ke rumah. Aku tidak menyangka bahwa ibuku sudh menungguku di balik pintu rumahku.
            “Siapa perempuan itu, Tha?” tanya ibuku.
            “Teman,” jawabku sambil berlalu.
            Tidak puas dengan jawabanku, ibuku mengejarku sampai ke kamar.
            “Mana ada teman yang mencium kening temannya sendiri kemudian mengatakan cinta seperti itu?”
            “Kenapa tidak? Dia kan temanku. Lagipula banyak perempuan yang saling cuium pipi,” kilahku.
            “Tidak mungkin!” bentak ibuku, “lalu apa ini?” kata ibuku sambil menunjukkan buku harianku.
            “Dia memang kekasihku,” kataku akhirnya mengakui.
            Ibuku sangat terpukul mendengar pengakuanku itu. ia merobek fotoku bersama Riska yang terselip di dalam buku harianku. Kemudian ia juga menginjak-injak buku harianku itu. dan aku hanya bisa menangis melihat itu semua.
            “Maaf, bu,” ratapku sambil mencoba memeluk ibuku tetapi ibuku mengelak.
            “Ibu sudah mencarikan calon suami untukmu!” tegas ibuku.
            “Tidak,bu! Salahkah aku mencintai Riska? Dialah pelangi dalam hidupku yang gelap. Dia yang mampu membuat aku bahagia. Aku tidak mau menikah dengan lak-laki. Laki-laki itu hanya akan menyakiti. Percayalah, bu!” kataku memelas.
            “Tidak!” kata ibuku sambil keluar kamarku.
***
Aku kembali menatap lautan luas di hadapanku. Kini bukan seorang diri lagi. Kini aku bersama dengan seorang malaikat kecil dan malaikat penjagaku. Sudah lima tahun sejak pindah ke Surabaya aku tidak ke sini. Semuanya masih sama, yang berbeda hanyalah dengan siapa aku ke sini.
            Sejak peristiwa itu aku harus ikut ibuku pindah ke Surabaya dan melupakan semua kehidupanku di Jakarta. Aku sangat merindukan Jakarta, terlebih Riska. Lima tahun aku tidak bertemu dengannya dan aku meninggalkannya tanpa kata-kata.
            Dari kejauhan aku melihat suami dan putriku sedang bermain air. Ternyata tidak semua laki-laki itu sama buruknya. Suamiku adalah laki-laki terbaik dalam hidupku. Apalagi sekarang ada Miska, putriku.
            “Apa kabar?” sapa seorang perempuan di belakangku.
            Suara itu, aku sangat mengenalinya. Suara yang sudah aku rindukan selama lima tahun. Sekarang aku kembali mendengar suara itu.
            “Riska,” kataku seraya membalikkan tubuhku.
            Riska hanya tersenyum. Ia masih seperti dulu. Tidak ada yang berubah. Tetap cantik dan berpenampilan seperti lima tahun lalu.
            “Itu keluargamu?” tanyanya sambil menunjuk ke arah suami dan anakku.
            “Iya,” jawabku.
            Tiba-tiba Riska memelukku. Aku sangat merindukkan pelukan ini. aku merasa damai berada dalam dekapan Riska. Ternyata rasaku untuk Riska masih sama besar seperti lima tahun lalu.
            “Apa kamu masih mencintaiku, Tha?” tanya Riska masih sambil memelukku.
            “Sangat,” jawabku.
            Riska melepaskan pelukkannya karena suami dan anak-anakku datang. Aku memperkenalkan Riska pada mereka sebagai sahabatku.
            “Miska, Mitha dan Riska bukan?” tanyanya ketika aku menyebutkan nama putriku. Aku mengangguk.
            Kini aku telah menemukan kembali pelangiku yang hilang. Meski tak akan termiliki namun pelangi itu akan ada menemani daam hidupku. Pelangiku akan menemaniku berdampingan dengan bulan dan bintangku. Selamanya.

0 komentar:

Posting Komentar