Sabtu, 31 Desember 2011

CATATAN MALAM TAHUN BARU 2012

"Cukup! Aku tidak boleh mengharapkannya lagi". Kata-kata itu berputar kembali di otakku.
Ah, apa aku benar-benar bisa melupakkannya? Laki-laki itu, yang telah membuatku jatuh hati. Sialnya laki-laki yang aku cintai tega membohongiku.
Bodohnya aku yang masih terus berharap. Hah! Apa sih yang aku harapkan? Hmm, mungkin supaya dia berubah. Kapan akan terjadi? Satu tahun aku bersamanya tetapi dia tetap sama, seorang pendusta.
Arghhhhhhhh!!!
Malam ini kebodohan itu terulang lagi. Aku menunggunya kembali dan semua itu tanpa ada kabar darinya. Kemanakah dia? Tahukah dia bahwa aku mengharapkan dia datang menjemputku. Malam ini aku menangis lagi. Masih air mata untuknya, dan air mata untuk kebodohanku.
Cinta tak pernah salah. Manusianyalah yang salah. Aku salah karena mencintainya. Kesalahan yang membuatku bahagia, tentunya sebelum kebohongannya terbongkar olehku.
Beberapa jam lagi tahun akan berganti. Aku merindukannya walaupun masih tanpa kabarnya.
Mungkinkah dia sedang bersenang-senang dengan kekasihnya? Tahukah dia bahwa aku menunggunya?
Cinta memang penuh siksa. 
Catatanku ini, ungkapan hatiku ini adalah bukti aku masih menyanyangimu, masih mengharapkanmu. Semoga Tuhan menyampaikan kesedihanku padamu.

Senin, 26 Desember 2011

untitled

cintakah aku padanya?
ia datang disaat hatiku terbelit kehampaan
ia memberiku mimpi dan kebahagiaan
tidak!
aku tidak mencintainya
tetapi aku menyanyanginya
dialah pelangi dalam hujanku
memberiku warna baru
bahkan ketika mentariku telah pergi
dia, dirinya

Salahkah Cinta?


Aku melayangkan pandanganku menatap hamparan air yang berada di depanku. Pemandangan laut senja memang sangatlah indah. sisa sinar sang surya yang menimpa laut, membuat keindahan yang sedang ku nikmati ini menjadi berkilauan. Sungguh indah karya Tuhan.
            “Laut memang bisa menenangkan pikiran yang sedang kacau,” kata seorang perempuan tiba-tiba yang kemudian langsung duduk di sampingku.
            Aku menatap perempuan itu. Aku mencoba mengamati penampilannya. Cara berpakaiannya juga sangat sederhana. Ia hanya memakai sebuah kaos putih dan celana jins hitam. Di punggungnya melekat sebuah tas ransel yang berwarna hitam. Ktika aku mengamati wajahnya, aku bisa menyimpulkan bahwa ia termasuk kategori cantik meskipun dengan berpakaian sesederhana itu.
            “Kenapa bengong?” tanyanya ketika melihat aku hanya diam sambil memandangnya.
            “Oh, eh, iya. Kenapa?” tanyaku gelagapan.
            Perempuan tadi lantas tertawa. Entah apa yang ditertawakannya. Ada rasa tidak enak menyelinap di hatiku. Mungkin perempuan tadi tahu kalau aku sedang mengamati dan menilainya. Mungkin juga ia menganggap yang aku lakukan terhadapnya itu adalah perbuatan konyol.
            “Riska,” kata perempuan tadi memperkenalkan diri sambil menjulurkan tengannya mengajak bersalaman.
            “Mitha,” kataku sambil menjabat tangan perempuan yang bernama Riska itu.
            “Sendiri?” tanya Riska sambil melayangkan matanya ke arahku.
            Aku hanya menganggukan kepalaku sebagai jawaban. Kemudian suasana kembali hening seperti ketika aku sendirian tadi. Mataku serasa masih belum puas menikmati keindahan laut yang sedari tadi ku pandangi.
            “Apa tidak takut sendirian di pantai? Apalagi sekarang sudah sangat sore,” kata Riska memecah keheningan kami.
            Kini aku menggelengkan kepalaku. “ Pantai adalah rumahku. Tidak ada yang perlu ditakuti!” kataku tegas.
            Riska kembali tertawa. Entah kenapa tawanya begitu hangat merasuki telingaku. Kini sepertinya aku mulai terbiaa dengan tawa dari Riska itu. Bahkan mungkin telingaku sangat menyukai tawanya itu.
            Riska membuka tasnya kemudian mengambil sebuah pena. Tiba-tiba ia meraih tanganku kemudian menuliskan sesuatu di telapak tanganku dengan pena yang diambilnya tadi.
            “Nomor telfonku. Kalau ada masalah kamu bisa panggil aku,” katanya kemudian berdiri. “Aku pulang dulu. Senang bertemu denganmu, Mitha,” lanjutnya seraya melangkah semakin menjauhiku. Setelah Riska menghilang, tiba-tiba perasaan sepi itu menghampiriku lagi. Kini aku benar-benar kesepian di sini. Meskipun sebenarnya aku tidak sendirian di pantai ini tetapi hatiku merasa sepi sendiri. Aku merasa hanya seorang diri.
***
Lagi-lagi aku harus melihat dan mendengar pertengkaran mereka. Ibu dan ayah tiriku memang selalu saja bertengkar. Pasti ayah tiriku itu dipecat lagi dari tempatnya bekerja. Atau mungkin ia mabuk-mabukan lagi. Arghhh... kepalaku serasa mau pecah.
            Kembali aku harus melihat pemandangan itu. laki-laki itu memukuli ibuku lagi. Ingin rasanya aku menolong ibuku kemudian berbalik menghajar laki-laki itu, tetapi aku tidak bisa. Ibuku melarangku melakukannya. Ibuku hanya takut kalau laki-laki itu juga akan menyakitiku.
            Aku mendudukkan tubuhku di pinggir tempat tidurku. Aku benar-benar sepi. Hidupku juga semakin tidak terarah. Seminggu yang lalu aku dipecat dari pekerjaanku sebagai pelayan restoran. Sampai sekarang aku tidak punya pekerjaan apa-apa. tidak ada yang mau menerimaku bekerja di tempatnya. Dunia  ini memang tidak pernah adil bagiku.
            Tiba-tiba aku ingat kepada Riska. Aku mengambil ponselku yang dari tadi tergeletak di atas meja riasku. Aku mulai mencari nama Riska dalam kontak telfonku. Untung kemaren aku menyiman nomornya. Setelah ketemu aku langsung menelfonnnya.
            “Halo Riska... ini Mitha. Bisa kita ketemu?”
***
Aku kembali memandangi hamparan air di depanku. Airnya masih tetap berkilau meski sang surya masih menjalankan tugasnya menyinari jagat raya ini. Kesendiriaan semakin menggerogoti jiwaku. Aku merasakan kehadiran seseorang di belakangku.
            “Maaf mengganggumu, Ris...,” kataku tanpa menoleh.
            Riska langsung duduk di sampingku. Aku menoleh ke arahnya. Aku melihat matanya jauh menerawang ke lautan lepas yang terhampar di hadapan kami.
            “Tidak masalah. Ayo cerita! Aku siap mendengarkan,” katanya sembari tersenyum.
            Aku mulai menceritakan masalah-masalahku pada Riska. Tentang ibuku, ayah tiriku, tentang Danu yang ku cintai namun telah  mengkhianatiku, dan diriku yang terlahir tidak mempunyai ayah sampai umur lima tahun yang akhirnya ibuku menikah dengan ayah tiriku itu. Entah kenapa aku merasa sangat nyaman bersamanya padahal sebelumnya aku tidak pernah merasa nyaman dengan siapapun. Riska memang berbeda dari yang lainnya.
            Aku kaget ketika Riska malah tertawa mendengar ceritaku. Aku pikir ia akan memberika solusi masalahku. Ternyata ia hanya menertawakanku. Ah!
            “Maaf, aku tidak bermaksud menertawakanmu. Sungguh,” katanya berusaha meyakinkanku. “Jangan percaya dengan laki-laki. Mereka itu makhluk bermuka dua,” lanjutnya.
            “Kenapa kamu bicara seperti itu?” tanyaku keheranan.
            “Karena laki-laki itu memang tidak pantas dipercaya, apalagi dicintai!” katanya tegas dan mantap.
            “Apa kamu pernah dikhianati?” selidikku.
            Riska menggeleng. “Aku tidak akan pernah menggantungkan hidupku pada laki-laki!” tegasnya kemudian.
            “Kenapa?” tanyaku semakin penasaran.
            Riska kemudian menceritakan tentang hidupnya. Ibunya ditinggal begitu saja oleh ayahnya ketika ia berusia 12 tahun. Ibunya mengalami depresi dan kemudian meninggal dunia. Beruntung karena kemudian ada seorang janda yang tidak mempunyai anak telah mengangkatnya sebagai anak. Dari sirulah Riska kemudian berjanji tidak mau berurusan lebih jauh dengan makhluk yang namanya laki-laki.
            “Apa kamu tidak pernah jatuh cinta?” tanyaku kemudian.
            “Pernah,” jawabnya singkat.
            “Oiya? Lalu kenapa tidak mau berurusan dengan laki-laki?” tanyaku semakin tidak mengerti.
            “Karena aku jatuh cinta denganmu,” jawabnya pelan.
            Aku bagai di sambar petir mendengar kata-kata Riska. Aku tidak pernah menyangka akan dicintai seperti ini oleh seorang perempuan.
            “Maksud kamu apa? Kita baru saja bertemu dan mana mungkin aku....” Tiba-tiba Riska memelukku, membuatku tidak bisa melanjutkan kata-kataku.
            Entah kenapa aku tidak mencoba melepaskan diri dari pelukan Riska. Aku juga marasa nyaman akan pelukan itu. Sudah gilakah aku karena mungkin aku juga mempunyai rasa yang sama seperti Riska?
            “Aku sering mengamatimu di sini. Saat kamu sedang kesepian di sini. Dan kemarin aku memutuskan untuk lebih mengenalmu agar aku bisa menjagamu dan mengisi kekosonganmu,” bisiknya lembut.
            Riska semakin erat memelukku dan entah kenapa tanganku balas memeluknya. Tiba-tiba saja ada perasaan lain menyelinap di hatiku. Mungkinkah benar Riska adalah orang yang akan mengisi kosongnya hatiku? Mungkinkah itu?
***
Sejak kejadian di pantai itu, aku dan Riska semakin dekat. Riska adalah orang yang telah mengisi hatiku. Ia juga tidak pernah menyakitiku. Selama bersamanya aku merasa sangat aman.
            “Sampai ketemu besok ya,” katanya ketika ia telah mengantarkanku pulang ke rumah.
            Aku mengangguk sambil tersenyum. Tanpa ku duga Riska tiba-tiba saja mencium keningku. Dan anehnya hatiku bergetar juga karena ciumannya itu.
            “Aku cinta kamu, Mitha,” teriaknya seraya menjalankan motornya.
            “Aku juga,” jawabku juga sambil berteriak.
            Aku melihat sepeda motor Riska semakin jauh meninggalkan rumahku. Setelah sepeda motor itu benar-benar hilang, aku segera masuk ke rumah. Aku tidak menyangka bahwa ibuku sudh menungguku di balik pintu rumahku.
            “Siapa perempuan itu, Tha?” tanya ibuku.
            “Teman,” jawabku sambil berlalu.
            Tidak puas dengan jawabanku, ibuku mengejarku sampai ke kamar.
            “Mana ada teman yang mencium kening temannya sendiri kemudian mengatakan cinta seperti itu?”
            “Kenapa tidak? Dia kan temanku. Lagipula banyak perempuan yang saling cuium pipi,” kilahku.
            “Tidak mungkin!” bentak ibuku, “lalu apa ini?” kata ibuku sambil menunjukkan buku harianku.
            “Dia memang kekasihku,” kataku akhirnya mengakui.
            Ibuku sangat terpukul mendengar pengakuanku itu. ia merobek fotoku bersama Riska yang terselip di dalam buku harianku. Kemudian ia juga menginjak-injak buku harianku itu. dan aku hanya bisa menangis melihat itu semua.
            “Maaf, bu,” ratapku sambil mencoba memeluk ibuku tetapi ibuku mengelak.
            “Ibu sudah mencarikan calon suami untukmu!” tegas ibuku.
            “Tidak,bu! Salahkah aku mencintai Riska? Dialah pelangi dalam hidupku yang gelap. Dia yang mampu membuat aku bahagia. Aku tidak mau menikah dengan lak-laki. Laki-laki itu hanya akan menyakiti. Percayalah, bu!” kataku memelas.
            “Tidak!” kata ibuku sambil keluar kamarku.
***
Aku kembali menatap lautan luas di hadapanku. Kini bukan seorang diri lagi. Kini aku bersama dengan seorang malaikat kecil dan malaikat penjagaku. Sudah lima tahun sejak pindah ke Surabaya aku tidak ke sini. Semuanya masih sama, yang berbeda hanyalah dengan siapa aku ke sini.
            Sejak peristiwa itu aku harus ikut ibuku pindah ke Surabaya dan melupakan semua kehidupanku di Jakarta. Aku sangat merindukan Jakarta, terlebih Riska. Lima tahun aku tidak bertemu dengannya dan aku meninggalkannya tanpa kata-kata.
            Dari kejauhan aku melihat suami dan putriku sedang bermain air. Ternyata tidak semua laki-laki itu sama buruknya. Suamiku adalah laki-laki terbaik dalam hidupku. Apalagi sekarang ada Miska, putriku.
            “Apa kabar?” sapa seorang perempuan di belakangku.
            Suara itu, aku sangat mengenalinya. Suara yang sudah aku rindukan selama lima tahun. Sekarang aku kembali mendengar suara itu.
            “Riska,” kataku seraya membalikkan tubuhku.
            Riska hanya tersenyum. Ia masih seperti dulu. Tidak ada yang berubah. Tetap cantik dan berpenampilan seperti lima tahun lalu.
            “Itu keluargamu?” tanyanya sambil menunjuk ke arah suami dan anakku.
            “Iya,” jawabku.
            Tiba-tiba Riska memelukku. Aku sangat merindukkan pelukan ini. aku merasa damai berada dalam dekapan Riska. Ternyata rasaku untuk Riska masih sama besar seperti lima tahun lalu.
            “Apa kamu masih mencintaiku, Tha?” tanya Riska masih sambil memelukku.
            “Sangat,” jawabku.
            Riska melepaskan pelukkannya karena suami dan anak-anakku datang. Aku memperkenalkan Riska pada mereka sebagai sahabatku.
            “Miska, Mitha dan Riska bukan?” tanyanya ketika aku menyebutkan nama putriku. Aku mengangguk.
            Kini aku telah menemukan kembali pelangiku yang hilang. Meski tak akan termiliki namun pelangi itu akan ada menemani daam hidupku. Pelangiku akan menemaniku berdampingan dengan bulan dan bintangku. Selamanya.

Senin, 24 Oktober 2011

apakah ini????

kenapa ini?? ada apa denganku??
mungkinkah ini yang dinamakan cemburu?? tapi pada siapa??
kehidupan memang penuh teka-teki. aku sangat tidak mengerti. terlebih karena aku memang bodoh.
dia siapa?? apa hubunganku dengannya?? apa statusku dan dia??
bodoh !!
itulah aku. aku dengan sadar tahu kalau dia bukanlah siapa-siapaku. dia ahnya teman. kami hanya berteman. dia pasti menganggapku seperti itu. kenapa aku harus berharap lebih padanya??
bagaimana mungkin aku mencintainya?? tidak!! tidak mungkin aku mencintainya!!
aku harus memastikan rasa ini. atau mungkin jangan-jangan aku yang sudah tidak waras.
hah.... kemungkinan aku gila memang besar. otakku mulai sinting. entah kenapa.
aku capek. otakku juga sedang trouble. susah diajak mikir. susah diajak cari ide buat nulis cerpen.
semua karena memikirkan kamu.
aku rindu kamu yang dulu, yang suka cerita banyak hal kepadaku.
that's true!!!

Sabtu, 08 Oktober 2011

LINGKARAN TIGA HATI


Aku memasangkan jam tangan silver kesayanganku di pergelangan tangan kananku. Jam yang sangat manis. Tidak mewah sih, tapi sangat berkesan. Jam tangan yang diberikan Wildan sebagai hadiah ulang tahunku yang ke-20 bulan lalu. Tentu saja aku sangat menyukainya. Kadang aku sampai senyum-senyum sendiri memandanginya.
Aku melirik jamku itu. Ternyata sudah jam 7. Aku mondar-mandir di sofa ruang tamu menunggu kehadiran Wildan.
“Hahh , ngaret lagi deh. Kemana sih dia. Ga tau apa aku nunggu sampai jamuran kayak gini,” aku menggerutu dalam hati.
            Kulihat ibu dan adikku lagi nonton tivi ikut melirik ke arahku. Adikku yang melihat tingkahku itu pun jadi ikutan kesal . Ku dengar samar-samar adikku mengomel . Entah apa yang diomelkannya . Mana aku peduli.
“Heh, belajar sana. Nonton tivi mulu. Ga naik kelas baru tau rasa ntar,”kataku ketus padanya.
“Apaan sih mbak Gina nih. Mbak aja sana yang belajar. Winda kan masih mau ngobrol ma ibu,”jawab adikku tak kalah ketusnya denganku.
“Tapi kan...”
Tiba-tiba ibuku memotong kata-kataku. “udah-udah, kalian ini udah pada gede masih aja berantem. Kamu juga Gina, kenapa sich dari tadi mondar-mandir gitu? Bikin ibu pusing tau nggak”.
Belum sempat aku menjawab handphoneku berdering merdu. Ternyata sms dari Wildan yang mengabarkan bahwa dia ada urusan penting. Jadi dia tidak bisa pergi denganku. Aku mulai berfikir macam-macam dan rasa kesalkupun semakin menjadi. Aku pun lari menuju kamarku.
***
Paginya di kampus ku cari wildan untuk menanyakan urusan penting yang jadi alasannya dia sampai-sampai membatalkan janjinya denganku. Kulihat Wildan berjalan cepat-cepat ke kelas. Tidak biasanya dia kayak gitu. Ada apa?
Aku memasuki ruang kelas kuliahku. Aku satu fakultas dan satu jurusan dengan Wildan. Dan kebetulan kita sekelas. Aku melirik ke arahnya. Tapi Wildan sama sekali tidak menggubris kedatanganku.
“Apa dia ga liat aku dateng? Keterlaluan!!!”protesku dalam hati. 
Kali ini aku tidak duduk bersebelahan dengannya seperti hari-hari biasa. Aku harap dengan bersikap seperti ini dia bisa tau kalau aku marah dengannya. Tapi ternyata dugaanku salah. Setelah menoleh ke arahkupun tetap tak kulihat wajah cemas di raut wajanya. Bahkan setelah itu dia tidak pernah melihat ke arahku lagi sampai jam kuliah selesai.  Hah dasar Wildan nyebelin!!!
***
Sudah puluhan kali aku melihat layar handphoneku berharap ada telpon atau minimal sms dari wildan. Tapi ternyata nihil. Kemana Wildan? Sudah 2 hari dia tidak menghubungiku. Bahkan di kampuspun begitu. Rasanya seperti tidak saling kenal.
Lama-lama aku merasakan karena dari tadi hanya tiduran di kamarku ini. Aku mengambil album fotoku dan wildan. Rasanya bahagia sakali mengenang kejadian di foto itu. Tapi sekarang semuanya berbeda. Wildan telah berubah.
Tok...tok...tok...
Ku dengar pintu kamarku diketuk. Tak lama kemudian langsung disambung suara winda yang mengatakan kalau wildan menelpon dan ingin berbicara denganku.Wajahku mendadak jadi berseri-seri.
“Tapi kenapa ga telpon di hapeku aja?”tanyaku dalam hati.
Aku pun langsung keluar kamar dan mengambil ganggang telpon yang tergeletak di meja.
“Hallo wildan”.
“Gin, ada yang mau aku bicarain sama kamu,”kata Wildan lesu.
“Apa?”Jawabku agak ketus berharap wildan akan merayuku supaya aku tak lagi marah.
“Kita ketemuan aja di tempat biasa besok jam 4 sore,”suaranya semakin lesu.
“Kamu jemput aku kan?”
“Iya.”
“Oke  deh”.
Klek. Tiiittt...tiiittt...tiiittt. Terdengar di sebrang sana Wildan menutup telponnya. Lagi-lagi sikapnya dingin. Ada apa ini?
***
“kita mau ngapain di sini?”Tanyaku saat wildan menghentikan mobilnya di sebuah rumah sakit.
“Masuk yuk....”Ajak Wildan.
Aku hanya mengangguk dan kamipun memasuku rumah sakit itu. Wildan membawaku ke sebuah ruang perawatan VIP. Ku lihat di sana sedang terbaring seorang gadis yang bisa ku lihat tubuhnya sangat lemah sekali.
“Siapa dia?”Suaraku setengah berbisik pada Wildan.
Tanpa menjawab kemudian Wildan mendudukanku di sebelah gadis itu. Wajahnya pucat sekali.
“Sakit apa dia?”tanyaku sekali lagi.
Ku lihat Wildan hanya menatapku. Aku pun berbalik menatapnya. Sesaat kami saling memandang. Sungguh aku sama sekali tidak mengerti apa yang dipikirkannya. Dalam hatiku terus bertanya ada apa ini? Apa maksud semua ini? Siapa gadis itu? Tapi hanya kediaman Wildanlah jawabanya.
Ku lihat gadis itu membuka matanya. Saat itu juga Wildan langsung menghampirinya.
“Mia, kamu udah bangun?”
Gadis yang dipanggil mia itu hanya tersenyum kemudian dia melihat ke arahku.
“Siapa dia Dan?”tanya Mia saat melihatku.
“Dia...emm, dia itu temen kampusku mi,”jawab Wildan.
Seketika aku memalingkan pandanganku ke Wildan. Aku melotot. Aku menatapnya tajam tapi Wildan tidak berani membalas tatapanku.
“Gin, kenalin ini Mia tunangan aku”.
Aku melihat Mia tersenyum kepadaku sambil mengulurkan tangannya ke arahku. Dengan sisa tenaga yang ada aku menjabat tangannya. Ya tuhan, saat ini rasanya duniaku runtuh. Wildan, teganya dia melukaiku. Tidak tahukah dia apa yang sedang aku rasakan saat ini.
“A...aku permisi dulu. Ada urusan.”
Segera aku berlari meninggalkan Wildan dan Mia. Tak kuasa air mataku ini terus mengalir. Hatiku tersa sangat sakit. Ternyata Wildan mengejarku.
“Gina tunggu,”kata Wildan sambil menarik lenganku.
“Udahlah. Kalo kamu emang udah ga sayang sama aku harusnya ngomong dari kemarin. Jangan kayak gini. Kamu ga tau gimana sakitnya aku. Kamu jahat dan, kamu jahat. Aku benci.”
Aku pun meronta melepaskan lenganku dari genggaman wildan. Tapi tidak bisa. Aku sudah tidak mempunyai tenaga lagi. Wildan memelukku. Aku menagis di pelukannya.
“Akan aku jelasin semuanya.”
“Ga perlu!”jawabku lugas.
“Enggak, kamu harus tau. Aku ga pengen kamu benci sama aku. Aku sayang banget sama kamu Gin.”
Ah, kata sayang. Apa masih berarti untuk saat ini. Setelah yang Wildan lakukan padaku malam ini. Apa benar masih ada sayang?
***
Kembali Wildan mengajakku bertemu Mia di rumah sakit. Tapi kali ini aku dan wildan hanya menunggu di luar. Kami tidak masuk ke ruang perawatan mia.
Wildan mulai menjelaskan siapa Mia. Ternyata Mia adalah tunangan Wildan. Mereka bertunangan saat kelas 2 sma. Suatu hari tanpa ada kabar Mia memutuskan pindah ke amerika tanpa memberitahu pada Wildan. Setelah itu mia menghilang tak ada kabar. Wildan berusaha menghubungi Mia tapi sepertinya Mia yang sengaja menghindar. Dan sekarang Mia pulang ke jogja. Ternyata mia menghilang karena melakukan pengobatan atas penyakit yang dideritanya. Mia sakit kanker otak dan menurut perhitungan medis umurnya tidak lama karena pengobatan di amerika tetap sia-sia. Bahkan Wildan baru tahu tentang penyakit Mia karena memang Mia merahasiakannya dari Wildan.
Aku menitikkan air mataku mengetahui keadaan Mia yang gawat. Perlahan-lahan rasa marahku reda berganti rasa kasihan yang sangat dalam. Sungguh aku tidak pernah menyangka bahwa Mia separah itu.
“Makanya aku ga tega nambahin beban pikiran Mia. Aku ga mau mia tambah sakit kalo tau tentang hubungan kita,”kata Wildan memecah keheningan.
“Iya, aku ngerti dan,”jawabku sambil menggenggam tangan Wildan.
“Maafin aku Gin, aku sayang banget sama kamu. Aku ga mau nyakitin kamu tapi aku juga ga mau bikin Mia tambah sakit. Aku pengen di sisa umurnya Mia bisa bahagia”.
“Insya Allah aku ikhlas dan,”jawabku dengan senyum masih menggenggam tangan Wildan.
Wildan hanya menatapku. Tapi aku tak sanggup membalas tatapannya. Kini aku dan Wildan kembali diam. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku percaya kalau Wildan adalah jodohku, kelak pasti akan kembali kepadaku. Skarang yang harus aku lakukan adalah belajar ikhlas menerima semua kejadian ini. Jau di dalam lubuk hatiku aku masih sangat mencintai wildan. Tapi aku juga tidak inin menyakiti Mia.
“Aku pulang dulu Dan”.
“Aku anterin”.
“Ga usah, bisa kog,”jawabku sambil berdiri.
“Gin, makasih ya,”kata Wildan sambil berdiri dan kemudian menjabat tanganku.
Rasanya aneh Wildan menjabat tanganku seperti ini. Sungguh aku ingin segera menghilang dari hadapannya. Aku tidak sanggup lama-lama melihatnya. Itu hanya akan membuatku tambah sakit. Ya, aku sakit. Sangat sakit.
Aku mengayunkan kakiku meninggalkan Wildan yang masih berdiri si depan ruang perawatan mia. Aku tak ingin menoleh. Aku harus tetap melangkah. Aku harus ikhlas. Mia lebih membutuhkan Wildan. Semua pasti ada hikmahnya. Aku berusaha menguatkan hatiku. Biarlah kisahku dan Wildan menjadi kenangan. Kini aku akan memulai hari-hariku lagi. Membuka lembaran baru yang lebih baik dan tetap masih mencintainya, Wildan.
--end--

Selasa, 27 September 2011

Tentang Sukma



Aku mengenalnya sejak pertama kali masuk sekolah dasar . Dia adalah anak yang aktif , pintar dan selalu ceria . Dia sudah seperti saudariku . Dialah sahabatku .
Saat SMP kami slalu bersama . Dia adalah seorang remaja yang cantik dan populer di SMP kami , bahkan di sekolah lain dia tetap populer .

Sukma ...
Nama itu slalu ada dlm ingatanku . Tak pernah seharipun aku melupakannya .
Saat di SMA pun masih tetap sama . Kami masih 1 SMA , Sukma tetap dengan kepopulerannya dan aku tetap menjadi sahabatnya .

Tiba saatnya aku melanjutkan study ku ke perguruan tinggi . Tapi kali ini tak ada Sukma untukku .
2 bulan sebelum kelulusan SMA , usaha yang dilakoni ayah sukma jatuh bangkrut . Ingin sekali aku meminta orangtuaku untuk membiayai kuliah Sukma . Tapi itu sangat sulit karena orangtuaku masih harus menanggung biaya pendidikan adikku yang masih 2 orang itu .

Sukma masih berada di desa kami sedang aku sudah melanjutkan kuliahku di kota . Setiap aku pulang ke desa selalu aku mengunjungi Sukma .
3 bulan berlalu . Samar-samar kudengar ayah Sukma perg entah kemana .
Kudengar pula ibunya mulai agak stres dengan semua itu .
Sukma , bagaimana keadaannya ????

Aku mulai tak tenang , pikiranku mulai dipenuhi berbagai hal tentang Sukma .
Setelah sebulan kupendam keingintahuanku tentang Sukma akhirnya tuntas sudah .
Dengan tergesa-gesa aku mendatang rumah Sukma . Sungguh aku tak percaya melihat keadaan sahabatku itu sekarang .

Sukma yang begitu cantik , pintar dan aktif kini berubah drastis menjadi Sukma yang sangat dalam keadaan payah . begitu jelas terlihat dari sorot matanya tentang keputusasaan hidupnya .
bahkan aku seperti melihat dendam dalam sorot matanya itu .
"Sukma ... Sukma ..." aku menggoncangkan tubuh Sukma tapi tak ada reaksi . Sukma tetap membisu .
aku mulai panik . Kini tatapan matanya kosong .
Kini aku memberanikan diri menatapnya . Sungguh , aku tak tahan melihat keadaannya .
Sukma balik menatapku dan dalam sekejab tiba-tiba dia pingsan .
Sejam kemudia Sukma mulai sadar . Dia menagis histeris .
Tanpa ku minta Sukma menceritakan semua hal yang dialaminya .
Ayahnya yang pergi meninggalkan dia dan ibunya . Ibunya yang mulai stres dan sakit-sakitan , dan juga Evan . Evan kekasih yang seharusnya slalu ada tapi kenyataannya dia selingkuh dengan perempuan lain .

Aku memeluk Sukma erat .Kurasakan tubunya sangat kurus . Bahkan mungkin hanya tinggal kulit yang menyelimuti tulang-tulangnya itu .

Dengan berat hati aku kembali ke kota untuk melanjutkan kuliahku .
sungguh tidak tega meninggaalkn Sukma dalam keadaan seperti itu . Tapi tugas kuliahku juga tak bisa ku abaikan , demi orangtuaku .
Baru seminggu aku kuliah , aku mendengar kabar dari orangtuaku bahwa Sukma meninggal .
"ini ga mungkin !!!!!!!!!!!!!!!" aku histeris dan sejurus kemudian pingsan .
teman-teman se-kostku langsung  mengangkatku ke tempat tidur . samar-samar aku mendengar suara Sukma .
"Vivi ... aku sayang kamu , kamu sahabat terbaik aku"
"oh Sukma ... aku juga sangat menyayangimu sahabatku", jawabku dengan setengah kesadaranku .
Semua kembali terang . Aku melihat sekelilingku , tak ada Sukma .
Segera ku kemasi barang-barangku dan pulang ke desa .

Sampai di desa ternyata Sukma sudah dimakamkan . Sendirian aku ke makam Sukma tatkala orang-orang sudah kembali ke rumah mereka . Tak kuasa air mataku jatuh .
Aku memeluk pusara yang masih basah itu . Aku mengeluh , aku menyalahkan takdir yang menuliskan tentang kepergianmu yang secepat ini .

Dari kejauhan aku melihat Sukma berdiri menatapku . Sangat cantik . Dia mengenakan gaun putih panjang dan dengan wajah yang berbinar . Dia tersenyum kepadaku . Aku mengedipkan mata dan spontan Sukma lenyap entah kemana . Tiba-tiba saja aku merasa lemas dan  semuanya menjadi gelap . 

Aku mulai membuka perlahan mataku . Ku melihat kedua orangtua dan kedua adikku tersenyum memandangku . Sepertinya lama sekali aku tak berjumpa mereka .
"Vivi , ikhlaskan Sukma . Dia sudah tenang di sana . Jangan kamu bebani dia ".
Air mataku meleleh lagi saat mendengar kata-kata ibuku itu .
Aku masih tak percaya dengan kenyataan ini dan aku hanya bisa pasrah dengan semuanya .
Aku hanya berharap Sukma tenang dan bahagia di sana .
"Tuhan , aku titip Sukma" doaku dalam hati seraya mencoba mengikhlaskan Sukma pergi .
Walaupun Sukma tak ada di dunia ini tapi Sukma tetap ada di hati .

Sukma sahabatku .

SAHABAT SELAMANYA ......